PEKANBARU,aktualnews.site – Menjelang penutupan tahun anggaran, ironi pengelolaan pajak parkir di Kota Pekanbaru kembali mencuat ke permukaan. Di tengah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan lonjakan jumlah kendaraan bermotor setiap tahun, sektor pajak parkir justru tidak menunjukkan kinerja yang sepadan.
Data menunjukkan kontribusi pajak parkir terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pekanbaru hanya berkisar 2 persen dan cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, aktivitas parkir tersebar luas di pusat perbelanjaan, kawasan usaha, pasar, fasilitas publik, hingga bandara semuanya menyimpan potensi penerimaan yang besar.
Kendaraan Bertambah, Setoran Tak Seimbang
Pertumbuhan kendaraan bermotor yang signifikan di Pekanbaru tidak otomatis berbanding lurus dengan penerimaan pajak parkir. Banyak titik parkir belum tercatat sebagai objek pajak, sebagian dikelola secara informal, sementara pengawasan dan penerapan sistem digital masih terbatas. Kondisi ini membuka ruang kebocoran penerimaan yang sulit ditelusuri.
Ironisnya, sejumlah kawasan dengan tingkat mobilitas tinggi justru menerapkan parkir gratis sebagai strategi bisnis, tanpa mekanisme kompensasi fiskal bagi daerah. Akibatnya, potensi PAD kembali terlepas tanpa kontribusi yang jelas.
Bandara Hingga Parkir Tepi Jalan
Gambaran paling nyata terlihat di Bandara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru Sejak 1 Februari 2020, sistem pembayaran parkir telah beralih dari tunai ke non-tunai, dengan potensi pendapatan parkir diperkirakan mencapai Rp1 miliar per bulan. Namun, yang masuk sebagai pajak daerah hanya sekitar 30 persen atau Rp300 juta, sehingga dalam setahun PAD yang diterima daerah diperkirakan hanya Rp3,6 miliar, sementara sisanya mengalir ke pihak pengelola.
Padahal, tarif parkir Bandara SSK II yang berlaku sejak 15 Februari 2023 tergolong tidak murah. Untuk mobil, tarif ditetapkan Rp6.000 pada satu jam pertama dan Rp2.000 per jam berikutnya. Sepeda motor dikenakan Rp3.000 untuk satu jam pertama dan Rp1.000 per jam berikutnya. Sementara bus atau truk dikenakan Rp8.000 pada satu jam pertama dan Rp5.000 per jam berikutnya, serta parkir mobil inap Rp20.000 untuk enam jam pertama dan Rp5.000 per jam berikutnya
Dengan struktur tarif tersebut, ditambah peningkatan jumlah kendaraan setiap tahun, publik wajar mempertanyakan transparansi dan akurasi setoran pajak parkir. Terlebih, selama hampir lima tahun terakhir, realisasi pajak parkir dari Bandara SSK II yang benar-benar masuk ke kas daerah belum pernah dipaparkan secara terbuka.
Di sisi lain, parkir tepi jalan yang jumlahnya sangat masif juga belum sepenuhnya tertata. Sistem pengelolaan yang masih manual serta lemahnya pengawasan menyebabkan potensi besar ini belum mampu dikonversi menjadi pendapatan daerah yang optimal.
Masalah Lama, Evaluasi Berulang
Hingga akhir tahun anggaran, persoalan pajak parkir masih berkutat pada isu-isu klasik, antara lain:
• pendataan objek pajak yang belum mutakhir,
• sistem pengelolaan yang rawan kebocoran,
• minimnya transparansi setoran,
• serta belum terintegrasinya sistem parkir ke dalam platform digital berbasis real time.
Tanpa pembenahan yang serius dan konsisten, pajak parkir akan terus menjadi sektor dengan potensi besar namun kontribusi yang kecil bagi PAD.
Catatan Akhir Tahun
Menutup tahun anggaran, pajak parkir seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap PAD. Dengan penataan menyeluruh, digitalisasi sistem, serta pengawasan yang kuat dan transparan, sektor ini berpeluang menjadi sumber pendapatan signifikan sekaligus cerminan tata kelola perkotaan yang tertib dan akuntabel.
Jika jumlah kendaraan terus bertambah namun penerimaan pajak parkir tak bergerak, maka persoalannya bukan terletak pada potensi, melainkan pada manajemen dan keberanian untuk membenahi sistem pengelolaan.
Jhon.














